Pada masa kini, mungkin sudah banyak yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya ujud dari rumah khas tatar Pasundan. Ia bagai sesuatu yang sering terdengar sekaligus jauh dari jangkauan indera,padahal ia lahir dari tangan-tangan terampil. Tulisan ini pun sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sangat sederhana, berawal dari suatu sore yang biasa-biasa saja ketika sepupu saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya tentang rumah adat Sunda. Sedikit terhenyak saya mendengar pertanyaan polos yang meluncur dari bibir mungilnya tesebut. Sebuah pertanyaan yang terkesan sangat remeh namun menggugah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu. Rumah adat Sunda, bagaimanakah ia sebenarnya? Dan penelusuran kecil-kecilan saya pun lalu tiba-tiba saja dimulai.
Tak ada yang bisa menyangkal, setiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong - atas dasar popularitasnya itu - penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat yang satu ini. Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima tamu. Pada waktu dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk dan jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu.
Jika ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini ternyata memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia. Sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Memang, bentuk dan gaya rumah adat Sunda sudah sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan jaman membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan berarti gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Di samping itu, keberadaan kampung adat maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong eksistensi bentuk dan gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya nama-nama suhunan rumah yang dipertahankan, tetapi bentuknya pun dipertahankan dan dikembangkan sesuai bentuk aslinya.
No comments:
Post a Comment